Bahasa
Indonesia merupakau salah satu ikrar dalam sumpah pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 yang berbunyi
“Kami putra dan putri Indonesia, menjujung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia”. Artinya, pada saat itu juga bahasa Melayu
diangkat menjadi bahasa nasional Indonesia dan menjadi bahasa pemersatu dari
perbedaan ragam suku dan bahasa. Pendapat ini selaras dengan Arifin (2015:5)
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, BAB XV pasal 36 bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara. Sejarah membuktikan bahwa bahasa Indonesia
telah berhasil mengikuti keragaman bangsa Indonesia dalam suatu semangat
nasionalisme. Bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara
beratus-ratus bahasa Nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya
sebagai bahasa Ibu. Sehingga, penting tidaknya suatu bahasa seperti jumlah
penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra dan
pengungkapan budaya (alwi, dkk, 2008:1).
Melihat
penjelasan di atas, menyatakan bahwa bahasa merupakan hasil dari semangat
nasionalisme, dalam artian bahasa Indonesia harus dicintai, dijunjung tinggi
harkat dan martabatnya. Namun, pada kenyataannya bahasa Indonesia di era
milenial dan digital ini menjadi tergeser, artinya ada bahasa asing yang lebih
mengungguli bahasa Indonesia itu sendiri.
Kehadiran bahasa asing menimbulkan manfaat dan mudarat seperti yang
diungkapkan Sudarsono (dalam
Arifin,2015:5) bahasa asing ke negara kita memiliki dampak positif dan negatif
terhadap masyarakat dan bahasa Indonesia. Dampak positifnya adalah generasi
muda bangsa kita dapat mempelajari bahasa asing dengan rangka berkomunikasi
dengan kawan bicara dari negara luar. Adapun dampak negatifnya adalah bahwa
sebagian bangsa kita menganggap bahasa asing lebih tinggi gengsinya daripada
bahasa Indonesia. Bahkan, tidak sedikit orang yang meremehkan dan melecehkan
bahasa persatuan sendiri. Artinya, banyak resiko yang menjadi tantangan tersendiri oleh bangsa
Indonesia dalam mempertahankan eksistensi bahasa sebagai cerminan budaya dan
jati diri bangsa. Menurut Marsudi (2008: 176) eksistensi
bahasa persatuan, selain dipengaruhi kekuatan penggunaanya, juga didukung oleh
kemampuan bahasa tersebut dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang.
Bahasa secara filosofis adalah
pengungkapan manusia atas realitas melalui simbol-simbol. Oleh karena itu,
perkembangan Bahasa Indonesia antara lain sangat tergantung pada tingkat
keberhasilan menciptakan kosa kata dan istilah-istilah baru.
Telah disebutkan di atas bahwa
perkembangan bahasa Indonesia tergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan
kosakata dan istilah-istilah baru. Kosakata bahasa Indonesia dapat bertambah
apabila adanya penyerapan bahasa daerah ataupun bahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia. Namun, yang menjadi permasalahannya ialah dalam proses penyerapan
bahasa asing. Tentu, dalam proses tersebut memiliki resiko terhadap bahasa
Indonesia itu sendiri. Karena, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan,
sehingga kultur yang melatarbelakangi bahasa tersebut juga akan terbawa.
Artinya, bahasa asing yang diserab ke dalam bahasa Indonesia bukan semata-mata
murni pengambilan kosakata saja, justru lebih dari itu.
Realita pada saat ini, bahasa yang
memiliki kedudukan dan diakui secara internasional adalah bahasa Inggris.
Sehingga, mau tidak mau dalam bahasa Indonesia terjadi penyerapan istilah yang
berasal dari bahasa Inggris. Chaer dan Agustina (2014:129) penyerapan unsur
asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan
kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak
pula dilakukan dengan cara (1) penerjemahan langsung, dan (2) penerjemahan
konsep. penerjemahan langsung, artinya kosakata itu dicarikan padanannya dalam
bahasa Indonesia. Misalnya, airport
menjadi bandar udara, samen werking
menjadi kerja sama, dan balance budget
menjadi anggran berimbang. Penerjemahan konsep artinya, kosakata asing itu
diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa Indonesia yang
dekat dengan kosakata asing tersebut.
Di era milenial ini, pemuda marak
menggunakan bahasa asing dan seakan-akan bahasa yang ia lafalkan lebih keren
dari bahasa Indonesia itu sendiri. contohnya saja dalam linkungan kampus baik
dalam proses belajar mengajar maupun dalam bercengkrama antar sesama, banyak
kita temui mereka enggan dalam menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan dari
mereka lebih bertahan dengan bahasa daerahnya, bahasa asing, dan mencampurkan
diantara ketiga bahasa tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan rendahnya tingkat
eksistensi bahasa Indonesia. Seharusnya,
sebagai pemuda atau generasi yang sangat berpengaruh besar terhadap bertahannya
dan meningkatnya eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri harus memulai dengan
konsisten dan menyadari bahwa konstibusi pemuda dalam hal ini sangat penting.
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia. Pemuda Indonesia harus sadar,
dan bangun dari kebodohan. Mengapa mesti menganggap bahasa asing lebih keren
dari bahasa Indonesia? Padahal, bahasa Indonesia juga tidak jauh lebih keren
dari bahasa asing. Pemuda Indonesia harus seperti penutur asing yang bangga
dengan bahasa negaranya. Jangan kalah berpikir dari mereka, bahkan mereka
berusaha keras agar memperkenalkan bahasanya di kancah Internasional. Namun,
kita tidak percaya diri dengan bahasa sendiri, bahasa yang selama ini menjadi
darah daging di negeri kita, bahasa yang menjadi persatuan antar republik
Indonesia, dan bahasa yang tidak jauh keren dari bahasa asing.
Permasalahannya di sini adalah
bagaimanakah supaya pemuda Indonesia mampu berkontribusi positif terhadap
bahasa Indonesia? Bagaimanakah tindakan pemuda Indonesia agar bahasa Indonesia tetap
bermartabat dan menunjukkan jadi diri bangsa? Sikap bahasa yang perlu dimiliki
dengan berbagai upaya http://pelitaku.
sabda.org/sikap_generasi_muda_melestarikan_bahasa_indonesia)
yaitu: (a) meningkatkan rasa kebanggaan memiliki dan menggunakan bahasa
Indonesia dalam berbagai keperluan dan kemanfaatannya yang menjangkau seluruh
lapisan, kelompok dan golongan dalam masyarakat bangsa Indonesia. (b) menghindari
penggunaan bahasa asing secara berlebihan atau di luar garis ketentuan dan kebijakan
yang telah ditentukan. (c) meningkatkan frekuensi pembiasaan penggunaan bahasa
Indonesia dalam semua kesempatan dan aktivitas, baik resmi maupun tidak resmi.
Dari sudut pandang psikologi pendidikan, suatu keberhasilan bukan sekedar
tercapai melalui pendidikan formal dan pelatihan, tetapi lebih-lebih melalui
pembiasaan penggunaan secara terus menerus dalam lingkungan masyarakat dan di
tengah-tengah keluarga.
Padang, 3 Maret 2018
Comments
Post a Comment