gambar: iqmal.com
Karya Yesi Anggraini Yunengsih
Antologi ini bagian dari kompetisi di Lingkar Puisi Nasional tahun 2016
BAB 1: MAKA TUHAN BERCERITA
[1] Senja yang
Menunggu
Aku terbiasa mengaku
rindu di saat Tuan bertanya
Aku terbiasa bersandiwara jika ada yang berdusta
Aku terbiasa berlagu di senja yang menunggu
Bibirku yang mengaku ada satu yang tak lagi satu
Bibirku yang terburu menyatu di antara belah ragu
Padahal itu malu, malu yang harus menutup aku
“ kenalkan arah yang harus dituju, akan menyapu seluruh
dosamu
hanya berbenah hati menunduk bisu”
Lalu apa yang harus kau tuju?
Hanya satu, menunduklah!
Ingatkan kembali siapa diri ini
Padang, 21 Oktober 2016-10-21
[2] Surat Kabar dari Tuan
Surat kabar dari Tuan bercerita
akan zaman,
ceritakan bahwa tanah kering tak
lagi senang
Surat kabar dari Tuan ceritakan
awan tak lagi sayang
jatuhkan buliran yang menggemang
alam
Surat kabar dari Tuan ceritakan
dunia tak lagi tenang
Mengancam jiwa yang tak sejalan
Mengapa ada surat kabar, Tuan?
Bisakah aku hanya tertunduk di
belakang?
Tuan, pintaku.
-
Surat kabar kembali ajarkan ada
cerita yang tak harus sirna
Ada cerita harus disematkan demi
cerita yang tak dipinta
Cerita yang tak ditahu oleh nyata
“ Surat apa itu, Tuan?”
Surat yang mengerti akan hidup
dan mati
Surat itu di tanganmu sendiri
Padang, 21 Oktober 2015
[3] Atas nama-nama
Mulut ini kembali berbuih atas
perkataan yang telah terucap
Lembam ini kembali kering menjadi
sahutan di atas ramalan
Ketika bumi bergoncang tak
sanggup lagi katakan
Tiada Tuhan selain Tuhan
Hadirmu tiba-tiba menekuk satu
mengingatkan dosa
Atas nama-nama yang telah terluka
Kusebut satu, kupinta ada maaf di
sana
Atas nama-nama yang telah mendoa
Kupinta jangan pergi!
Tapi, atas nama-nama yang lebih
Kuasa akan menyerah
Menyerah atas seretan yang akan
banjirkan
Seutuhnya karena Dia
Padang, 21 Oktober 2016
[4] Janji Fana Bertagar Kepalsuan
Merah putih menjadi alasan untuk mengabdi
Menyerukan ada Tuhan yang tak lagi senang
Menyeret racikan yang membumbui dunia tua
Entah apa alasanku mencium tiga roma sekali desuk
Kekayaan, kekayaan, kekayaan
Kekayaan akan jiwa, mengapa tak ditanya
Kiranya hanya tahu uang, uang, uang
Menimang seribu pandang demi menang
Dulunya kisah sejawat mengabdi
Menarasikan abad-abad yang takkan terlewatkan
Melalui nada-nada indah menembus keagungan
Tak pandang, nyata
hanya sorotan yang malang
Padang, 21 Oktober 2016-10-21
[5] Nadi
Urat yang berbalut melanin sebagai arti yang berbatas
Maka janganlah putus di lembaran keangkuhan
Biarkan mengerti akan aliran sepanjang jalan
Bersama harunya darah menyatu kuat
Sebagai bukti masih ada hati untuk diri
Sebab urat-urat palsu telah mengerti,
yang tak jauh serupa dengan nadi
Sebab urat-urat palsu telah mengabdi
demi penghancur hati ini
Padang, 21 Oktober 2015
[6]Dedara Tak Berkasta
Berdalih apa? Aku tahu itu dosa-dosa
Setan-setan menghelat berganti rupa
Bergandeng, menari, lalu-ku ajak berlari-lari
"Patung-patung berparas binasakan diri!"
Setan-setan menghelat berganti rupa
Bergandeng, menari, lalu-ku ajak berlari-lari
"Patung-patung berparas binasakan diri!"
Padang, 20 September 2016
[7]Takkan Ada Bayang Untuk Dikenang
Napasku yang tak
berarti di bawah denyutan nadi
Bagaimana dengan hati
ini yang ingin mengabdi
Tuhan ceritakan bahwa
dirinya telah pergi
Terbujur di balik selimut putih
Dan akupun mengerti,
cinta ini ada sampai mati
Di balik senyum yang ia
beri; titipkan rindu
di balik bayang yang
tertuduh malang,
aku hanyalah si tulang
rawan, yang kuatkan hati untuk menang
Padang, 25 September
2016
[8]KEKASIHMU, MERANGKUL KEMENANGAN
Tigapuluh detik akhir RamadhanMengenang yang terindah di bulan suci
Tersadar, aku mencinta sebulan lamanya
Hingga aku lupa mendula busung berbunyi
yang telah lama merindukan kenikmatan
Aku bersimpuh menampung kebahagiaan
Di surau beralaskan sajadah
Ketika itu takbir menggema
"Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar laillahaillallah"
Bergetar hati memecah kerinduan
Aku bertanya: apakah aku kekasihMu?
Bibirku baru saja melumat serangkaian takbir
Bersuara memburu akan hadirMu
Hari ini menebar senyum sejuta umat
Aku bertanya lagi: apakah aku kekasihMu?
Segenap jiwa berhidayah akan dunia
Tidak ada yang lebih bahagia
Setelah Ramadhan menjadi kaki kemenangan
Serentak kami menjemputnya
Pariaman, 1 Juli 2016
Oleh : Yesi Anggraini Yunengsih (Yesa Yui)
Dunia tak lagi terang Khalif
Hanya sepi menyanyup mimpi
Langkah hanyalah kepalsuan
Merapu hingga mengemas kebisuan
Tapi, ada saatnya sepi meniti hari,
melugas tentang rasa,
nyatanya Tuhan juga mencinta.
Lepaslah bayang menembus cahaya,
menutup pintu-pintu dosa.
Kau terlena.. Hingga lupa lima
perkara
Membusung rela mendua, maka malulah kau diluka cinta,
ditimang bayang nafsu belaka. Sesal! Menyeruak! Menghujam, benci akan dia!Membusung rela mendua, maka malulah kau diluka cinta,
Padang, 18 September 2016
Kini malam remang
Dibalas selasih mengembang
Kau membungkus kebaji
Bersembunyi dibalik halimunan
Kau melihat,
lekat penuh dalam
Seorang Istri diperbudakkan
Dicambuk! Terkedik!
"Mati Kau! Mati! "
Dicaci, lalu diceraikan
Pariaman, 16 September 2016
[11]Di Antara Dua Alam
Ya Makbud
Aku si pendosa di antara roh pengisar malam
Yang bertatan ingin disucikan
Akulah roh penebus siang
Yang berdusta pada lima sembahyang
Pinta-ku Tuhan; cabutlah penikam yang meraung kesakitan.
Cabutlah Tuhan! cabutlah! Aku benci persetanan.
Pariaman, 14 September 2016
*yunengsihyesi
Comments
Post a Comment